Sunday, December 6, 2015

About Translation

Saya baru saja membaca buku Mona Baker berjudul “In Other Words: A Coursebook on Translation (2011)”.  Kebetulan buku ini saya jadikan sebagai primary textbook untuk mata kuliah Translation I yang saya ajarkan kepada mahasiswa semester 5 program studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Muhammadiyah Kendari.  Setelah membaca beberapa bab terutama di bab mengenai penerjemahan secara gramatikal, saya menemukan beberapa fakta, salah satunya adalah bahwa konstruksi gramatikal antara Bahasa Inggris dan bahasa Indonesia sungguh sangat berbeda.  Contohnya adalah kata “I” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “saya” dan “aku”. 
 Pronoun system dalam bahasa Inggris kenyataannya bersifat gramatikal (I go / He goes), sementara dalam bahasa Indonesia pronoun systemnya bersifat leksikal.
I = saya (ada sense of familiarity) // aku (ada sense of non-familiarity)
Jadi penerjemahan kata “I” tergantung pada konteks yang diterjemahkan, apakah ada nuansa kedekatan atau jauh.
This condition may have contributed to the difficulties faced by Indonesian people to construct a well-translated sentence.
Contoh lain:
Behind                  
 ~ behind the cloud = DI BALIK awan
 ~ behind the cupboard = DI BELAKANG lemari
 ~ She is the next heiress behind her elder sister = dia adalah pewaris selanjutnya SETELAH kakak perempuannya
Saya tertarik mengamati dunia penerjemahan di Indonesia.  Awal ketertarikan saya adalah ketika pertama kali membaca novel Harry Potter.  Saya terkagum-kagum dengan hasil penerjemahan yang dilakukan oleh Ibu Listiani Srisanti (almh) pada waktu itu, yang menurut saya adalah bukan sesuatu hal yang mudah.  Bahasa Inggris-Amerika yang sudah familiar kita ketahui sangat jauh berbeda secara leksikal dan gramatikal bila dibandingkan dengan bahasa Inggris-Inggris.  Dari situlah rasa penasaran saya menjadi berkembang, sampai kemudian saya menceburkan diri ke dunia penerjemahan dan ingin lebih memahami lagi mengenai dunia penerjemahan di Indonesia.
Salah satu permasalahan mengenai penerjemahan di Indonesia yang menarik perhatian saya adalah proses “ofisialisasi” kata bahasa Inggris menjadi bahasa Indonesia.  Seperti yang kita pahami sebelumnya adalah ada perbedaan yang cukup mencolok dari leksikal dan gramatikal, dimana gramatikal adalah suatu system yang tertutup (close system), sementara leksikal merupakan system yang terbuka (open system).  Dengan sikap natural leksikal tersebut memungkinkan berkembangnya kata atau istilah dari masa ke masa. Salah satu yang mendapat dampak ekspansi kosakata adalah teknologi.  Teknologi sudah menjadi bagian dari kehidupan umat manusia. 
Alih-alih dengan hanya meminjam istilah asing tersebut menjadi bahasa Indonesia, para linguist di Indonesia memandang perlunya istilah-istilah tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. 
Nah, sekarang permasalahannya adalah…
  1. Untuk di Indonesia sendiri, siapakah orang-orang (atau lembaga) yang berwenang menentukan proses penerjemahan tersebut? Siapakah orang-orang tersebut? Perorangan atau lembaga?
  2. Apakah ada semacam consensus atau kesepakatan dari para pihak yang bertanggung jawab untuk menentukan arti dari istilah tersebut?
  3. Apakah ada semacam cara atau sistematika dalam menerjemahkan istilah asing tersebut? Kalau ada, bagaimana caranya?
Contoh :
online ∼ daring
Kata “online” merupakan gabungan dua kata “on” dan “line” membentuk compound noun “online”.  Sementara ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah akronim “dalam” dan “jaringan”.  Kenapa terjadi proses penerjemahan seperti ini? Atas dasar apa mereka menentukan terjemahan seperti ini? Apa ada campur tangan dari pakar teknologi informasi?

Okay, more to follow… (to be continued)

Thursday, December 3, 2015

#myminiproject #SFL

So, this is just a rough abstract. Because the submit due date is at the end of this month (December 30th), I still have a plenty of time to contemplate and sharpen my writing a little bit. Honestly I don't have high hopes for this mini-project to go to proceeding.  I still need a lot of time to read many related-books, but let say that this is just an abstract pep-talk. It doesn't even have a title yet, and the length of words have to be at least 500 words


With the concept of Mood and Modality introduced by Halliday in 1994, quite numerous researches drawn specifically on the subject matter have been developing over time.  The nature of Mood and Modality is investigating the level of “definiteness” of interlocutors’ utterance when they construct sentences, either by making requests or formulating the responses, by taking the contexts into consideration. This is rooting back to the idea of “politeness markers” in Systemic Functional Linguistics (SFL) framework formulated by Halliday nine years prior, who argued that it consisted of finite modal verbs, modal adjuncts, comment adjuncts, yes/no tags, and incongruent realizations of the interrogative form, in which was then developed under the “modalisation” and “modulation” analysis in Mood and Modality. Nonetheless, it does not only encompass the interlocutors’ utterance analysis in interlanguage setting, but also widespread to other types of languages such as vernacular languages. With its peculiarity and distinction, lexicogrammar analysis of vernacular language could help contribute the understanding of the language itself, as well as help preserve the resource of the language. Tolaki language is one of the native languages residing in Sulawesi Tenggara (Southeast Sulawesi), which to this day is still fully functioned by its’ local inhabitants. It is particularly used as a medium of spoken communication aimed mainly to state the intimacy and respect, to converse locally, or to relate to local custom regulation, customary celebration, and traditional wedding. Thus, by applying the concept, the researcher expects to conduct a thorough investigation of politeness markers in requests, orders, and apology in Tolaki language.

Word count : 255
 

Hopes this is a worthwhile.